A.
Latar Belakang
seiring berkembangnya zaman maka semakin
banyak pemikiran-pemikiran relevan dalam keseharian yang mempengaruhi cara
pandang masyarakat, namun tidak sedikit masyarakat yang semakin kebingungan
untuk menentukan arah pandang dan kiblat berfikir mereka, pertentangan dan
berdebatan antar pemikir membuat masyarakat semakin kebingungan, terutama
ajaran agama islam dalam pengaplikasiannya di masyarakat. Semua itu menjadi warna
yang unik dalam perkembangan keilmuan dari masa kemasa sejak zaman para nabi
dan filosof samapai sekarang.
Sebagai salah seorang yang berpengaruh
dalam khasanah keilmuan dan kehidupan sosial, tentunya beliau tidak asing lagi
untuk dibicarakan terutama dalam khasanah pemikiran-pemikirannya. Menitik karir
sebagai menteri agama adalah celah masyarakat untuk dapat mengenal beliau serta
kontribusi-kontribusi dalam masyarakat luas dan agama islam. Tiga pendekatan
Mukti Ali untuk menerangi dunia islam, pertama ia menggunakan metode
tradisional dalam memahami agama, kedua ia ungkapkan dengan dalil-dalil
rasional dan relevan sesuai dengan situasi yang ada, ketiga ia menggukan
pendekatan mistis. Ketiga pemikiran ini yang akan menghantarkan kemajuan dan
pembangunan umat islam.
Maka untuk menyikapi beberapa warna
pemikiran diatas perlu diadakan studi khusus tentang Abdul Mukti Ali,
pemikiran-pemikiran yang ditawarakan dalam memahami agama dapat diterima dalam
keadaan sadar dan mengerti.
B.
Biografi Abdul Mukti Ali
Sujuno atau yang lebih dikenal dengan sebutan Abdul
Mukti Ali lahir di Cepu, Blora, Jawa Tengah, 23 Agustus 1923 dan wafat pada 05
Mei 2004 di Yogyakarta pada umur 80
tahun. Ia adalah mantan menteri
Agama Republik Indonesia yang ke 12 pada
kabinet pembangunan II di Era Suharto, yaitu
pada 11 September 1971 - 29 Maret 1978.[1] Ia
juga terkenal sebagai Ulama Ahli perbandingan Agama dan cendekiawan Muslim[2]
Dari kontribusi beliau tentunya perlu diketahui
latar perkembangan kehidupan Seorang Mukti
Ali, dari beberapa sumber yang ada Mukti Ali adalah anak kelima dari
tujuh bersaudara, ayahnya bernam Idris atau Haji Abu Ali dan ibunya bernama
Mutiah atau Hj. Khodijah. Mukti Ali hidup dikalangan keluarga yang
berkecukupan, ayahnaya seorang pedang tembakau yang cukup sukses dan ibunya
seorang saudagar kain.[3]
Ia mengawali pendidikan pada usia 8 tahun di HIS
(Hollandsch Inlandsche School) dan di barengkan Madrasah Diniyah pada sore
harinya di Cepu. Setelah selesai menenpuh pendidikan di HIS ia berlanjut
dikirim ke pondok pesantren di cepu untuk belajar al-Quran kepada kiai Usman.
Pada tahun 1940, mukti ali dikirim oleh ayahnya
untuk belajar di pondok pesantren termas, pacitan, dibawah asuhan K.H. Dimyati
dan puteranya K.H. abdul Hamid Dimyati. Berlanjut kepesantren Hidayah, rembang
dibawah asuhan K.H. maksum[4].
Setelah menuntaskan pendidikan agamanya dipesantren
ia berlanjut ke Sekolah Tinggi Islam STI Yogyakarta, pada 1950 mukti ali
melanjutkan perjalannya ke mekah untuk menunaikan ibadah haji, dan melanjutkan
pendidikan pasca sarjana di Pakistan ambil kosentrasi di fakultas sastra arab,
universaitas Karachi, ia mengambil program sejarah islam sebagai bidang
spesialisnya.
Lima tahun kemudian mukti ali mampu menyelesaikan
tingkat sarjana mudanya selanjutnya mengambil program Ph.D di Universitas yang
sama. Pada 1955, ia tiba di kanada untuk melanjutkan belajarnya di Universitas
Mc Gill dengan mengambil konsen ilmu perbandingan agama.[5]
C.
Pemikiran Abdul Mukti Ali
Gagasan besar Mukti Ali adalah agama dan pembangunan
atau yang lebih popular dengan sebutan Islam Modern Indonesia dengan
menggunakan tiga pendekatan yaitu, Tradisonal, Rasional dan Mistis, untuk
mencapai pembangunan secara keseluruahan harus berlandasakan agama yang
mapan dan saling menghargai.
1.
Agama
Menurut Mukti Ali, agama ialah kepercayaan akan
adanya Tuhan Yang Maha Esa dan hukum yang diwahyukan kepada utusan-utusanNya
untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Menurutnya, ciri-ciri
agama ialah:
1) Mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa,
2) Mempunyai kitab suci dari Tuhan Yang Maha Esa,
3) Mempercayai rasul atau utusan dari Tuhan Yang
Maha Esa,
4) Mempunyai hukum sendiri bagi kehidupan penganutnya
berupa perintah dan petunjuk.
Menurut Mukti Ali pula, memahami agama itu harus
secara konseptual atau suatu keharusan. Artinnya, agama hanya akan dapat berfungsi
apabila ia benar-benar konseptual. Apabila tidak, maka agama hanya akan
merupakan ajaran yang kosong saja. Dalam memahami ajaran agama Islam,
umpamanya, kita harus berusaha untuk mempertemukan secara dialektis, kreatif,
dan eksistensial antara “teks” dengan “konteks”: antara “din” yang universal
dengan kenyataan hidup yang kontekstual.
Ø Konsep Pluralisme Agama Mukti Ali
Untuk menciptakan masyarakat yang rukun atau
kerukunan umat beragama, mukti ali membuat konsep pluralisme agama yang sedikit
berbeda dengan pemikir lainnya.
Terkait dengan bahasan pluralisme agama dalam
pemikiran Mukti Ali ada beberapa sub
fokus sebagai berikut:
a.
Sinkretisme
Paham ini berkeyakinan bahwa pada dasarnya semua
agama itu adalah sama. Sinkretisme berpendapat bahwa semua tindak laku harus
dilihat sebagai wujud dan manifestasi dari Keberadaan Asli (zat), sebagai
pancaran dari Terang Asli yang satu, sebagai ungkapan dari Substansi yang satu,
dan sebagai ombak dari Samudera yang satu.
Menurut Mukti Ali mengatakan sebagai berikut:
hal tersebut tidak dapat diterima Sebab dalam ajaran
Islam, Sang Khalik (Sang Pencipta) adalah sama sekali berbeda dengan makhluk
(yang diciptakan). Antara Khalik dan makhuk harus ada garis pemisah, sehingga
dengan demikian menjadi jelas siapa yang disembah dan untuk siapa orang itu
berbakti serta mengabdi.
b.
Rekonception
Agama adalah suatu keyakinan mengenai cara hidup
yang benar. Keinginan itu adalah desakan atau tuntutan alam semesta. Keinginan
yang timbul menjadi inti dari agama. Agama bersifat pribadi dan universal,
artinya agama merupakan pengalaman seseorang tetapi sesuai dengan kebutuhan dan
keinginan umum dari hati manusia. Untuk itu harus disusun agama universal yang
memenuhi segala kebutuhan dengan cara reconception. Reconception yaitu menata
dan meninjau ulang agama masing -masing dalam konfrontasi dengan agama-agama
lain.
Pandangan ini menawarkan pemikiran bahwa orang harus
menyelami secara mendalam dan meninjau kembali ajaran-ajaran agamanya sendiri
dalam rangka interaksinya dengan agama-agama lain. Tokohnya yang terkenal
adalah W.E.Hocking, yang berpendapat bahwa; Semua agama sama saja. Dengan
demikian, kelak akan muncul suatu agama yang mengandung unsur-unsur dari berbagai
agama. Misalnya, kandungan itu bisa berupa ajaran kasih sayang dari agama
Kristen, pengertian tentang kemuliaan Allah dari agama Islam, perikemanusiaan
dari agama Kong Hu Cu dan perenungan dari agama Hindu. Paham ini menekankan
bahwa orang harus tetap menganut agamanya sendiri, tetapi ia harus memasukkan
unsur-unsur dari agama-agama lain.
Mukti Ali berpendapat bahwa;
“Cara ini pun tidak dapat diterima karena dengan
menempuh cara itu agama tak ubahnya hanya merupakan produk pemikiran manusia
semata. Padahal, agama secara fundamental (pokok) diyakini sebagai bersumber
dari wahyu Tuhan. Bukan akal yang menciptakan atau menghasilkan agama, tetapi
agamalah yang memberi petunjuk dan bimbingan kepada manusia untuk menggunakan
akal dan nalarnya.”
Agama adalah seperangkat doktrin, kepercayaan, atau
sekumpulan norma dan ajaran Tuhan yang bersifat universal dan mutlak
kebenarannya. Adapun keberagamaan, adalah penyikapan atau pemahaman para penganut
agama terhadap doktrin, kepercayaan, atau ajaran-ajaran Tuhan itu, yang tentu
saja menjadi relative, dan sudah pasti kebenarannya menjadi bernilai relative.
c.
Sintesis
Yakni menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya
diambilkan dari agama-agama lain. Dengan cara ini, tiap-tiap pemeluk dari suatu
agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah diambil dan dimasukkan
ke dalam agama sintesis (campuran) tadi. Dengan jalan ini, orang menduga bahwa
toleransi dan kerukunan hidup antar umat beragama akan tercipta dan
terbina.Pendekatan dengan menggunakan sintesis ini, dalam pandangan Mukti Ali
bahwa:
Juga tidak dapat diterima, agama sintesis itu sendiri
tidak bisa diciptakan, karena setiap agama memiliki latar belakang historis
masing-masing yang tidak secara mudah dapat diputuskan begitu saja. Dengan kata
lain, tiap-tiap agama terikat secara kental dan kuat kepada nilai-nilai dan
hukum-hukum sejarahnya sendiri. sebenarnya makna di belakang fakta-fakta
keagamaan itu. Kelompok yang lain cenderung untuk mempertahankan metode yang
selama ini telah digunakan. Mereka berpandangan bahwa dalam penelitian agama
tidak perlu membangun metode baru.
Menurut mereka, sebagaimana telah berjalan, para ahli
bisa melakukan penelitian agama dengan memanfaatkan metode berbagai disiplin
yang sudah ada terutama dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan budaya. Mukti Ali
sendiri menawarkan sintesis yang berusaha menggabungkan kedua kecenderungan itu
melalui gagasannya untuk menggunakan pendekatan
religio-scientific(ilmiah-agamais) atau scientific-cum-doktrinair dalam studi
agama.
Inti dari gagasan besar Pluralisme agama oleh mukti
ali adalah untuk kerukunan umat beragama. Ia mengagungkan adanya dialog antar
agama untuk mencari titik temu dan aspek
relasi sosial yang dapat sandingkan.[6]
2.
Pembangunan
Memiliki perhatian dalam hal pembanguanan,
pembangunan secara luas hanya diartikan sebagai pembangunan secara ekonomi saja,
namun ketika kita masih mengartikan pembangunan hanya sebatas ekonomi saja itu
sama halnya mengulangi kesalahan pembangunan yang diterapkan dibarat.
Pembanguan bukan sekedar ekonomi, budaya, mental, politik, pendidikan dan moral
saja. Tapi yang dimaksudkan oleh mukti ali adalah pembangunan secara
keseluruhan, maka secara teknis dirumuskan dengan ungkapan pembangunan manusia
seutuhnya dan pembangunan masayarakat Indonesia seluruhnya. Kalau hanya
pembangunan secara ekonomi menurut mukti ali sangat mungkin mengakibatkan
kapitalisme dan imperialisme dan kalau tidak pembangunan seluruh masyarakat
dikuwatirkan akan menimbulkan diskriminasi pembangunan antar daerah, antar suku
dan sebagainya, itu sangat berbahaya. Konsep ini tampaknya diikuti oleh hampir
semua orang.
Pembangunan diranah dunia pendidikan
mukti ali melihat ada saluran yang macet karena pembelajaran agama di Indonesia masih terbagi-bagi menjadi
fiqih, ahlak, tasawauf tafsir dan sebagainya, tiap cabang
ilmu itu diajarkan sesuai dengan tingkatan orang yang diajar. Lebih
tinggi tingkatannya maka lebih luas uraiannya. sehingga mengakibatkan ketidak bulatan pemahaman ini sangat di kuwatirkan
menjadi pemahaman dangkal. Serta sumber daya manusia yang ada di pesantren itu
hanya terfokuskan pada pembelajaran agama sehingga tidak sesuai ketika turun langsung
dimasyarakat jadi perlu adanya bimbingan untuk menjawab tantangan masa depan.[7]
D.
Kesimpulan
Dari gagasan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam
memahami sebuah teori ataupun doktrin agama perlu dibentur-benturkan terlebih
dahulu untuk bisa dapat hasil yang sesuai, tidak bisa melihat hanya menggunakan
satu sudut pandang saja.
Agama adalah
alat yang dapat mendamaikan dunia
tapi dengan agama pula dunia dapat menjadi berantarakan dan tak berarah.
Perdamaian bukan terletak pada konsep ataupun teks tapi harus
terkontekstual dan dan dijalankan.
E.
Daftar Pustaka
Bibit
Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara. (Gelar
Media Indonesia, ISBN 979-980-6611-14-5)
Ali
Munaif, Menteri-menteri Agama RI.
Biografai Sosial Politik (Badan Litbang Agama Departemen Agama RI. 1998)
Abdurrahman
dkk,Tujuh Puluh Tahun H. A. Mukti Ali, Agama dan Masyarakat, (IAIN Sunan
Kalijaga, 1993)
A,
Mukti ali, Memahami beberapa aspek ajaran
islam, (Yogyakarta, 1991)
Mohammad
Damami, Lima Tokoh IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta: (UIN Sunan Kalijaga)
[1]
Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama
Nusantara. (Gelar Media Indonesia, ISBN 979-980-6611-14-5) Hal. 53-57
[2]
Ali Munaif, Menteri-menteri Agama RI.
Biografai Sosial Politik (Badan Litbang Agama Departemen Agama RI. 1998)
Hal. 271-379
[3]
Abdurrahman dkk,Tujuh Puluh Tahun H. A.
Mukti Ali, Agama dan Masyarakat, (IAIN
Sunan Kalijaga, 1993) Hal.3-14
[4]
Ibid, Hal. 20-28
[5]
Ibid, Hal.41-43
[6] A.
Mukti ali, Memahami beberapa aspek ajaran
islam, (Yogyakarta, 1991), Hal. 15-36.
[7] Mohammad
Damami, Lima Tokoh IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta: (UIN Sunan Kalijaga), Hal. 258-265
No comments:
Post a Comment