science: pemikiran mukti ali

Friday, February 23, 2018

pemikiran mukti ali


A.      Latar Belakang
seiring berkembangnya zaman maka semakin banyak pemikiran-pemikiran relevan dalam keseharian yang mempengaruhi cara pandang masyarakat, namun tidak sedikit masyarakat yang semakin kebingungan untuk menentukan arah pandang dan kiblat berfikir mereka, pertentangan dan berdebatan antar pemikir membuat masyarakat semakin kebingungan, terutama ajaran agama islam dalam pengaplikasiannya di masyarakat. Semua itu menjadi warna yang unik dalam perkembangan keilmuan dari masa kemasa sejak zaman para nabi dan filosof samapai sekarang.
Sebagai salah seorang yang berpengaruh dalam khasanah keilmuan dan kehidupan sosial, tentunya beliau tidak asing lagi untuk dibicarakan terutama dalam khasanah pemikiran-pemikirannya. Menitik karir sebagai menteri agama adalah celah masyarakat untuk dapat mengenal beliau serta kontribusi-kontribusi dalam masyarakat luas dan agama islam. Tiga pendekatan Mukti Ali untuk menerangi dunia islam, pertama ia menggunakan metode tradisional dalam memahami agama, kedua ia ungkapkan dengan dalil-dalil rasional dan relevan sesuai dengan situasi yang ada, ketiga ia menggukan pendekatan mistis. Ketiga pemikiran ini yang akan menghantarkan kemajuan dan pembangunan umat islam.
Maka untuk menyikapi beberapa warna pemikiran diatas perlu diadakan studi khusus tentang Abdul Mukti Ali, pemikiran-pemikiran yang ditawarakan dalam memahami agama dapat diterima dalam keadaan sadar dan mengerti.
B.       Biografi Abdul Mukti Ali
Sujuno atau yang lebih dikenal dengan sebutan Abdul Mukti Ali lahir di Cepu, Blora, Jawa Tengah, 23 Agustus 1923 dan wafat pada 05 Mei 2004 di Yogyakarta pada umur 80  tahun. Ia adalah mantan  menteri Agama Republik Indonesia  yang ke 12 pada kabinet pembangunan II di Era Suharto, yaitu  pada 11 September 1971 - 29 Maret 1978.[1] Ia juga terkenal sebagai Ulama Ahli perbandingan Agama dan cendekiawan Muslim[2]
Dari kontribusi beliau tentunya perlu diketahui latar perkembangan kehidupan Seorang Mukti  Ali, dari beberapa sumber yang ada Mukti Ali adalah anak kelima dari tujuh bersaudara, ayahnya bernam Idris atau Haji Abu Ali dan ibunya bernama Mutiah atau Hj. Khodijah. Mukti Ali hidup dikalangan keluarga yang berkecukupan, ayahnaya seorang pedang tembakau yang cukup sukses dan ibunya seorang saudagar kain.[3]
Ia mengawali pendidikan pada usia 8 tahun di HIS (Hollandsch Inlandsche School) dan di barengkan Madrasah Diniyah pada sore harinya di Cepu. Setelah selesai menenpuh pendidikan di HIS ia berlanjut dikirim ke pondok pesantren di cepu untuk belajar al-Quran kepada kiai Usman.
Pada tahun 1940, mukti ali dikirim oleh ayahnya untuk belajar di pondok pesantren termas, pacitan, dibawah asuhan K.H. Dimyati dan puteranya K.H. abdul Hamid Dimyati. Berlanjut kepesantren Hidayah, rembang dibawah asuhan K.H. maksum[4].
Setelah menuntaskan pendidikan agamanya dipesantren ia berlanjut ke Sekolah Tinggi Islam STI Yogyakarta, pada 1950 mukti ali melanjutkan perjalannya ke mekah untuk menunaikan ibadah haji, dan melanjutkan pendidikan pasca sarjana di Pakistan ambil kosentrasi di fakultas sastra arab, universaitas Karachi, ia mengambil program sejarah islam sebagai bidang spesialisnya.
Lima tahun kemudian mukti ali mampu menyelesaikan tingkat sarjana mudanya selanjutnya mengambil program Ph.D di Universitas yang sama. Pada 1955, ia tiba di kanada untuk melanjutkan belajarnya di Universitas Mc Gill dengan mengambil konsen ilmu perbandingan agama.[5]
C.      Pemikiran Abdul Mukti Ali
Gagasan besar Mukti Ali adalah agama dan pembangunan atau yang lebih popular dengan sebutan Islam Modern Indonesia dengan menggunakan tiga pendekatan yaitu, Tradisonal, Rasional dan Mistis, untuk mencapai pembangunan secara keseluruahan harus berlandasakan agama yang mapan  dan saling menghargai.
1.      Agama
Menurut Mukti Ali, agama ialah kepercayaan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dan hukum yang diwahyukan kepada utusan-utusanNya untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Menurutnya, ciri-ciri agama ialah:
1) Mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa,
2) Mempunyai kitab suci dari Tuhan Yang Maha Esa,
3) Mempercayai rasul atau utusan dari Tuhan Yang Maha Esa,
4) Mempunyai hukum sendiri bagi kehidupan penganutnya berupa perintah dan petunjuk.
Menurut Mukti Ali pula, memahami agama itu harus secara konseptual atau suatu keharusan. Artinnya, agama hanya akan dapat berfungsi apabila ia benar-benar konseptual. Apabila tidak, maka agama hanya akan merupakan ajaran yang kosong saja. Dalam memahami ajaran agama Islam, umpamanya, kita harus berusaha untuk mempertemukan secara dialektis, kreatif, dan eksistensial antara “teks” dengan “konteks”: antara “din” yang universal dengan kenyataan hidup yang kontekstual.
Ø  Konsep Pluralisme Agama Mukti Ali
Untuk menciptakan masyarakat yang rukun atau kerukunan umat beragama, mukti ali membuat konsep pluralisme agama yang sedikit berbeda dengan pemikir lainnya.
Terkait dengan bahasan pluralisme agama dalam pemikiran Mukti Ali ada beberapa  sub fokus sebagai berikut:
a.    Sinkretisme
Paham ini berkeyakinan bahwa pada dasarnya semua agama itu adalah sama. Sinkretisme berpendapat bahwa semua tindak laku harus dilihat sebagai wujud dan manifestasi dari Keberadaan Asli (zat), sebagai pancaran dari Terang Asli yang satu, sebagai ungkapan dari Substansi yang satu, dan sebagai ombak dari Samudera yang satu.
Menurut Mukti Ali mengatakan sebagai berikut:
hal tersebut tidak dapat diterima Sebab dalam ajaran Islam, Sang Khalik (Sang Pencipta) adalah sama sekali berbeda dengan makhluk (yang diciptakan). Antara Khalik dan makhuk harus ada garis pemisah, sehingga dengan demikian menjadi jelas siapa yang disembah dan untuk siapa orang itu berbakti serta mengabdi.
b.    Rekonception
Agama adalah suatu keyakinan mengenai cara hidup yang benar. Keinginan itu adalah desakan atau tuntutan alam semesta. Keinginan yang timbul menjadi inti dari agama. Agama bersifat pribadi dan universal, artinya agama merupakan pengalaman seseorang tetapi sesuai dengan kebutuhan dan keinginan umum dari hati manusia. Untuk itu harus disusun agama universal yang memenuhi segala kebutuhan dengan cara reconception. Reconception yaitu menata dan meninjau ulang agama masing -masing dalam konfrontasi dengan agama-agama lain.
Pandangan ini menawarkan pemikiran bahwa orang harus menyelami secara mendalam dan meninjau kembali ajaran-ajaran agamanya sendiri dalam rangka interaksinya dengan agama-agama lain. Tokohnya yang terkenal adalah W.E.Hocking, yang berpendapat bahwa; Semua agama sama saja. Dengan demikian, kelak akan muncul suatu agama yang mengandung unsur-unsur dari berbagai agama. Misalnya, kandungan itu bisa berupa ajaran kasih sayang dari agama Kristen, pengertian tentang kemuliaan Allah dari agama Islam, perikemanusiaan dari agama Kong Hu Cu dan perenungan dari agama Hindu. Paham ini menekankan bahwa orang harus tetap menganut agamanya sendiri, tetapi ia harus memasukkan unsur-unsur dari agama-agama lain.
Mukti Ali berpendapat bahwa;
“Cara ini pun tidak dapat diterima karena dengan menempuh cara itu agama tak ubahnya hanya merupakan produk pemikiran manusia semata. Padahal, agama secara fundamental (pokok) diyakini sebagai bersumber dari wahyu Tuhan. Bukan akal yang menciptakan atau menghasilkan agama, tetapi agamalah yang memberi petunjuk dan bimbingan kepada manusia untuk menggunakan akal dan nalarnya.”
Agama adalah seperangkat doktrin, kepercayaan, atau sekumpulan norma dan ajaran Tuhan yang bersifat universal dan mutlak kebenarannya. Adapun keberagamaan, adalah penyikapan atau pemahaman para penganut agama terhadap doktrin, kepercayaan, atau ajaran-ajaran Tuhan itu, yang tentu saja menjadi relative, dan sudah pasti kebenarannya menjadi bernilai relative.
c.    Sintesis
Yakni menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari agama-agama lain. Dengan cara ini, tiap-tiap pemeluk dari suatu agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah diambil dan dimasukkan ke dalam agama sintesis (campuran) tadi. Dengan jalan ini, orang menduga bahwa toleransi dan kerukunan hidup antar umat beragama akan tercipta dan terbina.Pendekatan dengan menggunakan sintesis ini, dalam pandangan Mukti Ali bahwa:
Juga tidak dapat diterima, agama sintesis itu sendiri tidak bisa diciptakan, karena setiap agama memiliki latar belakang historis masing-masing yang tidak secara mudah dapat diputuskan begitu saja. Dengan kata lain, tiap-tiap agama terikat secara kental dan kuat kepada nilai-nilai dan hukum-hukum sejarahnya sendiri. sebenarnya makna di belakang fakta-fakta keagamaan itu. Kelompok yang lain cenderung untuk mempertahankan metode yang selama ini telah digunakan. Mereka berpandangan bahwa dalam penelitian agama tidak perlu membangun metode baru.
Menurut mereka, sebagaimana telah berjalan, para ahli bisa melakukan penelitian agama dengan memanfaatkan metode berbagai disiplin yang sudah ada terutama dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan budaya. Mukti Ali sendiri menawarkan sintesis yang berusaha menggabungkan kedua kecenderungan itu melalui gagasannya untuk menggunakan pendekatan religio-scientific(ilmiah-agamais) atau scientific-cum-doktrinair dalam studi agama.
Inti dari gagasan besar Pluralisme agama oleh mukti ali adalah untuk kerukunan umat beragama. Ia mengagungkan adanya dialog antar agama untuk mencari titik temu dan  aspek relasi sosial yang dapat sandingkan.[6]
2.      Pembangunan
Memiliki perhatian dalam hal pembanguanan, pembangunan secara luas hanya diartikan sebagai pembangunan secara ekonomi saja, namun ketika kita masih mengartikan pembangunan hanya sebatas ekonomi saja itu sama halnya mengulangi kesalahan pembangunan yang diterapkan dibarat. Pembanguan bukan sekedar ekonomi, budaya, mental, politik, pendidikan dan moral saja. Tapi yang dimaksudkan oleh mukti ali adalah pembangunan secara keseluruhan, maka secara teknis dirumuskan dengan ungkapan pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masayarakat Indonesia seluruhnya. Kalau hanya pembangunan secara ekonomi menurut mukti ali sangat mungkin mengakibatkan kapitalisme dan imperialisme dan kalau tidak pembangunan seluruh masyarakat dikuwatirkan akan menimbulkan diskriminasi pembangunan antar daerah, antar suku dan sebagainya, itu sangat berbahaya. Konsep ini tampaknya diikuti oleh hampir semua orang.
Pembangunan diranah dunia pendidikan mukti ali melihat ada saluran yang macet karena pembelajaran agama di  Indonesia masih terbagi-bagi menjadi fiqih,  ahlak, tasawauf tafsir  dan sebagainya, tiap  cabang  ilmu itu diajarkan sesuai dengan tingkatan orang yang diajar. Lebih tinggi tingkatannya maka lebih luas uraiannya. sehingga mengakibatkan ketidak  bulatan pemahaman ini sangat di kuwatirkan menjadi pemahaman dangkal. Serta sumber daya manusia yang ada di pesantren itu hanya terfokuskan pada pembelajaran agama sehingga tidak sesuai ketika turun langsung dimasyarakat jadi perlu adanya bimbingan untuk menjawab tantangan masa depan.[7]


D.      Kesimpulan
Dari gagasan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam memahami sebuah teori ataupun doktrin agama perlu dibentur-benturkan terlebih dahulu untuk bisa dapat hasil yang sesuai, tidak bisa melihat hanya menggunakan satu sudut pandang saja.
Agama adalah  alat  yang dapat mendamaikan dunia tapi dengan agama pula dunia dapat menjadi berantarakan dan tak berarah. Perdamaian bukan terletak pada konsep ataupun teks tapi harus terkontekstual  dan dan dijalankan.
E.       Daftar Pustaka
Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara. (Gelar Media Indonesia, ISBN 979-980-6611-14-5)
Ali Munaif, Menteri-menteri Agama RI. Biografai Sosial Politik (Badan Litbang Agama Departemen Agama RI. 1998)
Abdurrahman dkk,Tujuh Puluh Tahun H. A. Mukti  Ali, Agama dan Masyarakat, (IAIN Sunan Kalijaga, 1993)
A, Mukti ali, Memahami beberapa aspek ajaran islam, (Yogyakarta, 1991)
Mohammad Damami, Lima Tokoh IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: (UIN Sunan Kalijaga)


[1] Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara. (Gelar Media Indonesia, ISBN 979-980-6611-14-5) Hal. 53-57
[2] Ali Munaif, Menteri-menteri Agama RI. Biografai Sosial Politik (Badan Litbang Agama Departemen Agama RI. 1998) Hal. 271-379
[3] Abdurrahman dkk,Tujuh Puluh Tahun H. A. Mukti  Ali, Agama dan Masyarakat, (IAIN Sunan Kalijaga, 1993) Hal.3-14
[4] Ibid, Hal. 20-28
[5] Ibid, Hal.41-43
[6] A. Mukti ali, Memahami beberapa aspek ajaran islam, (Yogyakarta, 1991), Hal. 15-36.
[7] Mohammad Damami, Lima Tokoh IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: (UIN Sunan Kalijaga), Hal. 258-265

No comments:

Post a Comment