science: February 2018

Friday, February 23, 2018

contoh undangan tausiyah


UNDANGAN
PENGAJIAN MAJELIS TA’LIM
AN-NUR

                                                                                   Kepada Yth

                                                                                                   H. Daeng Kucup
                                                                                   Di-
                                                                                            Tempat









Assalamualaikum Wr. Wb
Salam dan teriring do’a, semoga Tuhan yang Maha Esa mencurahkan Rahmat kepada kita dalam menjalankan aktifitas sehari-hari, Amin.
Sehubungan dengan pelaksanaan Kegiatan Pengajian Majelis Ta’lim AN-NUR, maka kami mengundang bapak / ibu, saudara (i) untuk menghadiri acara yang dimaksud.
Insya Allah akan dilaksanakan pada:
Hari/Tanggal        : Senin / 06 November 2016
Waktu                  : 19:00 Wita ( Ba’da Isya )
Tempat                 : Jl. Husni Tamrin ( Loron Pasar Sentral )
Demikian undangan ini kami buat, atas perhatian serta respon yang positif kami ucapkan terimakasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

                                                                                             Turut Mengundang,

                                                                              Pemi Helingo

tuhan, manusia dan eskatologi


A.    Judul
Tuhan Manusia dan eskatologi
B.     Latar belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan sangat signifikan, sejalan dengan kebutuhan manusia yang semakin hari tidak ada habisnya. Kebutuhan tersebut tidak hanya berkisar pada ranah kebutuhan yang bersifat materi atau dhahoirnya, akan tetapi juga kebutuhan spiritual. Keberadaan ilmu jadi tidak ada artinya jika ia berjalan sendiri, tanpa di barengi agama dalam memback up konsep-konsep yang ditawarkan oleh ilmu tersebut. Keduanya tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain, karena akan terjadi kepincangan yang menghambat perkembangannya, sepakat dengan stetamant bijak “ilmu tanpa agama akan buta, sedangkan agama tanpa ilmu akan lumpuh”. Jadi, keduanya harus berjalan beriringan dan saling melengkapi satu sama lain. Belbagai konsep yang ditawarkan oleh keduanya guna menjawab, memberikan solusi dari permasalahan-permasalahan yang timbul didalam kehidupan manusia.
C.    Rumusan masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan tuhan?
2.      Apa yang dimaksud dengan manusia?
3.      Apayang dimaksud dengan eskatologi?
4.      Apa hubungan atara tuhan, manusia dan eskatologi?
D.    Pengertian Tuhan
Kata Tuhan dalam bahasa Melayu kini berasal dari kata tuan. Buku pertama yang memberi keterangan tentang hubungan kata tuan dan Tuhan adalah adalah Ensiklopedi Populer Gereja oleh Adolf Heuken SJ (1976). Menurut buku tersebut, arti kata Tuhan ada hubungannya dengan kata Melayu tuan yang berarti atasan/penguasa/pemilik. Kata "tuan" ditujukan kepada manusia, atau hal-hal lain yang memiliki sifat menguasai, memiliki, atau memelihara. Digunakan pula untuk menyebut seseorang yang memiliki derajat yang lebih tinggi, atau seseorang yang dihormati. Penggunaannya lumrah digunakan bersama-sama dengan disertakan dengan kata lain mengikuti kata "tuan" itu sendiri, dimisalkan pada kata "tuan rumah" atau "tuan tanah" dan lain sebagainya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks selain keagamaan yang bersifat ketuhanan.
Dalam bahasa Indonesia modern, kata "Tuhan" pada umumnya dipakai untuk merujuk kepada suatu Dzat abadi dan supernatural. Dalam konteks rumpun agama samawi, kata Tuhan (dengan huruf T besar) hampir selalu mengacu pada Allah, yang diyakini sebagai Dzat yang Maha sempurna, pemilik langit dan bumi yang disembah manusia. Dalam bahasa Arab kata ini sepadan dengan kata rabb. Menurut Ibnu Atsir, Tuhan dan tuan secara bahasa diartikan pemilik, penguasa, pengatur, pembina, pengurus dan pemberi nikmat.  Kata Tuhan disebutkan lebih dari 1.000 kali dalam Al-Qur'an. Dalam monoteisme, biasanya dikatakan bahwa Tuhan mengawasi dan memerintah manusia dan alam semesta atau jagat raya. Hal ini bisa juga digunakan untuk merujuk kepada beberapa konsep-konsep yang mirip dengan ini, misalnya sebuah bentuk energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam semesta, yang keberadaan-Nya membuat alam semesta ada; sumber segala yang ada; kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk hidup; atau apa pun yang tak bisa dimengerti atau dijelaskan.
E.     Manusia
1.      Manusia dalam perspektif filsafat
Disimpulkan bahwa manusia merupakan hewan yang berpikir karena memiliki nalar intelektual. Dengan nalar intelektual itulah manusia dapat berpikir, menganalisis, memperkirakan, meyimpulkan, membandingkan, dan sebagainya. Nalar intelektual ini pula yang membuat manusia dapat membedakan antara yang baik dan yang jelek, antara yang salah dan yang benar.
a)      Hakekat Manusia
Pada saat-saat tertentu dalam perjalanan hidupnya, manusia mempertanyakan tentang asal-usul alam semesta dan asal-usul keber-ada-an dirinya sendiri. Terdapat dua aliran  pokok  filsafat   yang  memberikan  jawaban  atas pertanyaan  tersebut,  yaitu Evolusionisme dan  Kreasionisme  (J.D.  Butler, 1968). Menurut Evolusionisme,  manusia adalah  hasil  puncak  dari  mata   rantai  evolusi  yang  terjadi  di  alam  semesta.  Manusia  sebagaimana  halnya alam  semesta ada  dengan sendirinya berkembang dari alam  itu sendiri, tanpa Pencipta. Penganut aliran ini antara lain Herbert Spencer, Charles Darwin, dan  Konosuke  Matsushita. Sebaliknya, Kreasionisme menyatakan bahwa asal usul manusia sebagaimana halnya alam semesta adalah ciptaan suatu Creative Cause atau Personality, yaitu Tuhan YME. Penganut aliran ini antara lain Thomas Aquinas dan Al-Ghazali. Memang  kita  dapat  menerima  gagasan  tentang  adanya  proses  evolusi  di  alam semesta termasuk pada  diri  manusia,  tetapi  tentunya kita   menolak pandangan  yang menyatakan adanya manusia di alam semesta semata-mata sebagai hasil evolusi dari alam itu sendiri, tanpa Pencipta.
b)      Wujud dan Potensi Manusia
Wujud  Manusia. menurut  penganut  aliran  Materialisme yaitu  Julien  de  La Mettrie bahwa  esensi  manusia  semata-mata  bersifat  badani,  esensi  manusia  adalah tubuh atau fisiknya.  Sebab itu, segala hal yang bersifat kejiwaan, spiritual atau rohaniah dipandangnya  hanya  sebagai  resonansi  dari  berfungsinya  badan  atau  organ  tubuh. Tubuhlah yang mempengaruhi jiwa. Contoh: Jika ada organ tubuh luka muncullah rasa sakit.  Pandangan  hubungan  antara  badan  dan  jiwa  seperti  itu  dikenal  sebagai Epiphenomenalisme (J.D. Butler, 1968). Bertentangan  dengan  gagasan  Julien  de  La  Metrie, menurut Plato salah seorang  penganut  aliran  Idealisme -bahwa  esensi   manusia  bersifat  kejiwaan/spiritual/rohaniah. Memang  Plato  tidak   mengingkari  adanya  aspek  badan,  namun menurut  dia  jiwa  mempunyai  kedudukan  lebih  tinggi  daripada  badan.
2.      Manusia dalam perspektif Islam
Penciptaan manusia terdiri dari bentuk jasmani yang bersifat kongkrit, juga disertai pemberian sebagian Ruh ciptaan Allah swt yang bersifat abstrak. Manusia dicirikan oleh sebuah intelegensi sentral atau total bukan sekedar parsial atau pinggiran. Manusia dicirikan oleh kemampuan mengasihi dan ketulusan, bukan sekedar refles-refleks egoistis. Sedangkan, binatang, tidak mengetahui apa-apa diluar dunia inderawi, meskipun barangkali memiliki kepekaan tentang yang sakral.
Manusia perlu mengenali hakekat dirinya, agar akal yang digunakannya untuk menguasai alam dan jagad raya yang maha luas dikendalikan oleh iman, sehingga mampu mengenali ke-Maha Pekasaan Allah dalam mencipta dan mengendalikan kehidupan ciptaanNya. Dalam memahami ayat-ayat Allah dalam kesadaran akan hakekat dirinya, manusia menjadi mampu memberi arti dan makna hidupnya, yang harus diisi dengan patuh dan taat pada perintah-perintah dan berusaha menjauhi larangan-larangan Allah. Berikut adalah hakekat manusia menurut pandangan Islam:
a)      Manusia adalah Makhluk Ciptaan Allah Swt
Hakekat pertama ini berlaku umum bagi seluruh jagat raya dan isinya yang bersifat baru, sebagai ciptaan Allah SWT di luar alam yang disebut akhirat. Alam ciptaan meupakan alam nyata yang konkrit, sedang alam akhirat merupakan ciptaan yang ghaib, kecuali Allah SWT yang bersifat ghaib bukan ciptaan, yang ada karena adanya sendiri.[1] Firman Allah SWT mengenai penciptaan manusia dalam Q.S. Al-Hajj ayat 5 :
Artinya :  “Sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani menjadi segumpal darah, menjadi segumpal daging yang diberi bentuk dan yang tidak berbentuk, untuk Kami perlihatkan kekuasaan Tuhanmu.
Firman tersebut menjelaskan pada manusia tentang asal muasal dirinya, bahwa hanya manusia pertama Nabi Adam AS yang diciptakan langsung dari tanah, sedang istrinya diciptakan dari satu bagian tubuh suaminya. Setelah itu semua manusia berikutnya  diciptakan melalui perantaraan seorang ibu dan dari seorang ayah, yang dimulai dari setetes air mani yang dipertemukan dengan sel telur di dalam rahim. Hakikat pertama ini berlaku pada umumnya manusia di seluruh jagad raya sebagai ciptaan Allah diluar alam yang disebut akhirat. Alam ciptaan merupakan alam nyata yang konkrit sedangkan alam akhirat merupakan ciptaan yang ghaib kecuali Allah yang bersifat ghaib bukan ciptaan yang ada karena dirinya sendiri.
b)      Kemandirian dan Kebersamaan (Individualitas dan Sosialita).
Kemanunggalan tubuh dan jiwa yang diciptakan Allah Swt, merupakan satu diri individu yang berbeda dengan yang lain. setiap manusia dari individu memiliki jati diri masing - masing. Jati diri tersebut merupakan aspek dari fisik dan psikis di dalam kesatuan. Setiap individu mengalami perkembangan dan berusah untuk mengenali  jati dirinya sehingga mereka menyadari bahwa jati diri mereka berbeda dengan yang lain.  Firman Allah dalam Q.S. Al-A’raf 189 artinya “Dialah yang menciptakanmu dari satu diri”
 Firman tersebut jelas menyatakan bahwa sebagai satu diri (individu) dalam merealisasikan dirinya melalui kehidupan, ternyata diantaranya terdapat manusia yang mampu mensyukurinya dan menjadi beriman. Di dalam sabda Rasulullah SAW menjelaskan petunjuk tentang cara mewujudkan sosialitas yang diridhoiNya, diantara hadist tersebut mengatakan: “Seorang dari kamu tidak beriman sebelum mencintai kawannya seperti mencintai dirinya sendiri” (Diriwayatkan oleh Bukhari)“Senyummu kepada kawan adalah sedekah” (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Baihaqi)[2].
Kebersamaan (sosialitas) hanya akan terwujud jika dalam keterhubungan itu manusia mampu saling menempatkan sebagai subyek, untuk memungkinkannya menjalin hubungan manusiawi yang efektif, sebagai hubungan yang disukai dan diridhai Allah Swt. Selain itu manusia merupakan suatu kaum (masyarakat) dalam menjalani hidup bersama dan berhadapan dengan kaum (masyarakat) yang lain. Manusia dalam perspektif agama Islam juga harus menyadari bahwa pemeluk agama Islam adalah bersaudara satu dengan yang lain.[3]
c)      Manusia Merupakan Makhluk yang Terbatas
Manusia memiliki kebebasan dalam mewujudkan diri (self realization), baik sebagai satu diri (individu) maupun sebagai makhluk social, terrnyata tidak dapat melepaskan diri dari berbagai keterikatan yang membatasinya. Keterikatan atau keterbatasan itu merupakan hakikat manusia yang melekat dan dibawa sejak manusia diciptakan Allah SWT. Keterbatasan itu berbentuk tuntutan memikul tanggung jawab yang lebih berat daripada makhluk-makhluk lainnya. Tanggung jawab yang paling asasi sudah dipikulkan ke pundak manusia pada saat berada dalam proses penciptaan setiap anak cucu Adam berupa janji atau kesaksian akan menjalani hidup di dalam fitrah beragama tauhid. Firman Allah Q.S. Al-A’raf ayat 172 sebagai berikut: artinya “Dan ingat lah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian jiwa mereka, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul Engkau Tuhan kami dan kami bersaksi.” Kesaksian tersebut merupakan sumpah yang mengikat atau membatasi manusia sebagai individu bahwa didalam kehidupannya tidak akan menyembah selain Allah SWT. Bersaksi akan menjadi manusia yang bertaqwa pada Allah SWT. Manusia tidak bebas menyembah sesuatu selain Allah SWT, yang sebagai perbuatan syirik dan kufur hanya akan mengantarkannya menjadi makhluk yang terkutuk dan dimurkaiNya.
F.     Eskatologi
1.      Pengertian Eskatologi
Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa, yang dimaksud dengan “eskatologi” adalah ilmu tentang akhir riwayat/ kehidupan manusia; ilmu kematian manusia.[4] Dalam dunia islam kita kenal berbagai macam riwayat (al-qur’an dan hadits) yang membicarakan tentang kehidupan setelah mati. Adapun yang menjadi landasan dalam memotret dan mengklasifikasikan persoalan esskatologi ini adalah berdasarkan konsep eskatologi islam secara umum. Eskatologi islam secara sederhana diklasifikasikan menjadi dua bagian : akhir dunia dan akhirat. Dalam kontek akhir dunia, pembahasan eskatologi islam tertuju pada konsep mengenai kiamat. Namun sebelum kiamat ini, dikenal pula sosok eskatologi (eschatological figures) islam, yaitu : Ya’juj dan Ma’juj, Imam mahdi, Dajjal, dan Isa. Sedangkan dalam kontek akhirat, pembahasannya tertuju pada konsep hari kebangkitan, konsep pengadilan, serta konsep surga dan neraka.
Dalam pembahasan akhirat ini, sebagian besar ahli tafsir juga menyebutkan detail mengenai kepercayaan kepada Alam barzakh (alam antara) antara kematian, kebangkitan, dan pengadilan akhir. Terkait dengan konsep kematian, terdapat indikasi didalam al-qur’an bahwa pengalaman dan wujud eksistensial manusia terdiri dari dua kematian dan dua kehidupan. Kematian pertama iaah masa sebelum manusia dilahirkan, sedang kematian yang kedua adalah kematian manusia setelah manusia dilahirkan. Adapun kehidupan pertama adalah kehidupan di dunia, sedang kehidupan kedua adalah kehidupan di akhirat. Kematian pertama, karena terkesan mitologis,dan bukan merupaknan rangkaian kehidupan, maka tidak termasuk dalam bidaang garapan eskatologi. Begitulah agaknya gambaran umum tentang eskatologi islam.[5]
Hal ini sebagimana yang ditulis antara lain oleh William J. Hamblin dan Daniel C. Peterson, Toshihiko Izutsu, H.P. Owen, dan Cyril Glasse. Dari semua sumber acuan teoritis ini, penulis mengkasifikasikannya menjadi : a) Kematian, b). Alam barzakh, c). Hari kiamat dan d). Surga dan Neraka.
2.      Konsep-konsep eskatologi
a.       Makna kematian 
Memposisikan dunia dan akhirat Pembahasan mengenai kematian tanpaknya tidak bisa semata-mata didekati oleh sebuah konsep/ranah rasional-ilmiah. Ada sebuah ungkapan menarik yang menyatakan “ Dan akhirnya ada suatu teka-teki penuh dengan rasa kesakitan,yaitu teka-teki mati. Teka-teki itu tidak ada obatnya pada waktu ini, dan kiranya tidak akan obatnya di kelak kemudian hari.” (Sigmund Freud)[6] bila hanya mengandalkan rasionalitas atau indrawi, akan “gagal” mengkonsepsikan kematian.
Islam, dalam hal ini Al-Qur’an, memiliki seperangkat argumen untu merespon pandangan bahwa kematian adalah akhir dari segalanya. Namun, respon Al –Qur’an ini tidaklah diperuntukkan bagi keseluruhan masyarakat arab jahiliyah. Sebab, melalui syair-syair yang masih terpelihara sampai kini,ada indikasi kuat yang menunjukkkan bahwa sebagian diantara mereka telah beriman kepada Allah dan menerima doktrin kebangkitan-kembali. Jadi, yang menjadi sasaran Al-Qur’an adalah mereka yang hanya benar-benar tidak mengakui doktrin akhir, atau yang dalam istilah Toshihiko izutsu yang menganut doktrin nihilisme. Dengan demikian, sejak masa-masa awal,Al –Qur’an sebetulnya telah mengajukan berbagai argument untuk membungkam para pengingkar doktrin akhir. Fazlur Rahman mengeksplorasi, paling tidak, tiga argument dimaksud[7] :
Pertama, bahwa Allah telah menciptakan bumi dan segala bentuk kehidupan yang bjumlahnya tidak terhitung atau tidak diketahui, sehingga hal ini direnungkan, berarti Allah dapat pula menciptakan manusia yang baru dan bentuk kehidupan lain yang tidak pula diketahui.
Kedua, Sebagaimana menciptakan percikan api dari kayu-kayuan hijau (yang basah) Allah dapat pula membuat mati dan hidup secara bergantian,yang kelihatannya mustahil karena dihasilkan dari sesuatu yang berlawanan. Hal ini, terbukti bahwa Dia menciptakan siang dan malam,silih berganti, seperti yang diperbuat-Nya terkait dengan kebangkitan dan kejatuhan bangsa-bangsa. Jika kedua fenomena tersebut adalah “alami “ hingga tak perlu dipersoalkan, maka fenomena kebangkitan kembali dan penciptaan bentuk-bentuk kehidupan yang baru,harus pula dipandang sebagai kenyataan yang ‘ Alami’.
Ketiga, contoh yang khas yang diberikan Al –Qur’an tentang fenomena tersebut, bumi yang menjadi subur di musim semi setelah ia ‘mati’ di musim salju.
Rahman dalam hal ini telah melakukan eksplorasi yang bersifat deskriptif- analistis. Akan tetapi ini sebenarnya belum merangkum semua argument yang diajukan Al-qur’an. Dinilah tampaaknya Al- Ghozali melengkapinya. Al-Ghozali mempunyai tiga argument yang kiranya luput dari pantauan Rahman, yaitu : Pertama, bahwa sanya Al-qur’an menantang para pengingkar untuk memikirkan sesuatu yang kelihatan sangat mustahil tetapi bagi Allah sangat mudah diwujudkan. Tantangan semacam ini sudah sering disampaikan melalui berbagai konteks, dan selalu terbukti akan kebenarannya. Kedua, kekuasaan Allah tidak dapat terelakkan yaitu dengan mampu membuat Ashhab al-kahf hidup selam ratusan tahun. Hal ini memberi kesan bahwa apapun yang dikehendaki Allah pasti terjadi. Ketiga, mengembalikan sesuatu yang sudah ada sebelumnya pada dasarnya tidaklah berbeda dengan memulai sesuatu untuk yang kedua kalinya.
Dengan demikian, ada proses saling melengkapi antara kedua tokoh dalam upaya – upaya menggali argument-argument Al-qur’an untuk menjelaskan eksistensi kehidupan akhirat. Jadi, penjelasan ini menyiratkan suatu konsep “ sunnatullah “ bahwa kematian dan kehidupan merupakan proses yang terjadi secara alami menurut kehendak- Nya. Jika demikian halnya, maka tentu kematian dan kehidupan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
b.      Alam barzah
Secara ontology, persoalan tentang eksistensi manusia pasca kematian hamper tidak menimbulkan perselisihan yang fundamental di kalangan ulama. Sebab, Ayat- ayat Al-qur’an sendiri telah menjelaskan secara gamblang, bahwa sanya manusia akan menerima balasan atas segala apa yang telah dilakukannya di dunia. Dokktrin tentang Alam Barzakh adalah doktrin eskatologi yang hanya dianut dalam islam. Dalam agama lain, agaknya konsepsi Zoroasterianisme ( Majusi)-lah yang memiliki kemiripan denga doktrin ini, yang juga mengakui adanya Alam Antara, yang menghubungkan kematian dan kebangkitan – kembali. Namun demikian, sekali pun kedua doktrin tersebut memiliki kemiripan, akan tetapi keduanya tentu memiliki landasan argument yang berbeda, sebab dalam doktrin Zoroasterianisme diakui bahwa manusia akan menjumpai daena-nya setelah tiga hari dari kematian.
Tentang realitas keberadaan alam barzakh ini, memang tidak ada perbedaan persepsi dikalangan para ulama’, akan tetapi konflik yang muncul ketika sejumlah ulama, termasuk Al-Ghozali, mengidentifikasikan Alam Barzakh dengan balasan pahala atau ganjaran dosa di suatu alam tertentu, kejadian yang berlangsung sejak manusia meniggal sampai ia dibangkitkan kembali pada hari kiamat. Lebih jauh menurut Al-Ghozali, manusia, ketika berada dalam kubur (Alam Barzakh) akan mengalami empat kondisi yang di sesuaikan dengan kualitas masing- masing perbuatannya ;
Pertama, diantara mereka ada yang duduk diatas tumitnya sampai matanya hancur berantakan,sementara jasad sang mayit sendiri berada dalam kondisi bengkak dan kembali menjadi tanah. Setelah proses ini dilalui, ia akan berputar di Alam Malakut dibawah langit kedua.
Kedua, Diantara mereka ada yang diberi oleh Allah rasa kantuk yang luar biasa sehingga ia tidak bangun dan tidak mengetahui tentang apa yang terjadi sampai kelak terjadinya peniupan sangkakala ( terompet ) pertama. Diantara orang- orang in I ada yang berada dikuburnya hanya selam dua atau tiga bulan,setelah itu jiwanya akan naik keatas burung yang yang terbang ke Surga.
Ketiga, yang termasuk kedalam kelompok ini, mereka yang apabila jasadnya telah hancur, rohnya akan naik menuju sangkakala dan terus menempel disana hingga terompet tersebut ditiupkan.
Keempat, khusus bagi para Nabi dan Wali Allah, diantara mereka ada yang terus berkeliling dimuka bumi sampai hari kiamat.
Demikian gambaran umum formulasi Al-ghozali tentang Alam Barzakh, yang dengan sangat jelas mengaitkan doktrin ini dengan nikmat dan siksa.
Meskipun begitu, secara genealogis, gagasan Al- Ghozali ini pada dasarnya berangkat dari konsepsinya tentang kematian yang mengidentikkannyab dengan “ kiamat kecil’ Implikasinya ,karena istilah kiamat itu sudah mengindikasikan suatu kebangkitan yang tentu saja disertai dengan pertanggung jawaban beserta konsekuensi siksa atau ni’matnya. Dari sisi lain yang berbeda, akan terjawab pula implikasi dari konsep kematian Rahman. Konsepsi Rahman tentang Barzakh sama sekali tidak bertolak belakang dari Al-ghozali, bila Al-Ghozali sangat meyakini doktrin siksa dan ni’mat di Alam Barzakh, maka sebalikny a, Rahman memberikan sangkalan, dengan mengatakan bahwa doktrin eskatologi tentang adanya pengadilan pra- kiamat yang kemudian di balas dengan kenikmatan atau malah di ganjar dengan siksaan sebenarnya tidak ditemukan di dalam Al qur’an, melainkan dalam hadits- hadits. Disamping itu, doktrin ini pada dasarnya merupakan gagasan yang diadobsi dari ajaran Zoroasterianisme.
Klaim Rahman ini, sesungguhnya sekaligus meruntuhkan keyakinan teologis yang sudah berurat-berakar dikalangan umat muslim. Alam Barzakh yang merupakan alam Antara yang menjembatani kehidupan dunia dan hari kebangkitan, dalam pandangan rahman itu merupakan gambaran awal dari segala sesuatu yang akan dating. Sehingga anggapan bahwa perhitungan amal dilakukan setelah kematian seseorang tampaknya diterima, lantaran hari Perhitungan merupakan masa depan yang tidak bisa diketahui . karena itulah Rahman lebih meyakini bahwa Surga dan Neraaka telah dmulai ketika manusia berada di Alam Kubur. Dengaan kata lain, ia tidak memahami kualitasa barzakg sebagai realitas perantara sebagaimana Al- Ghozali.
Munculnya klaim Rahman yang memfonis bahwa doktri siksa dan ni’mat Baaarzakh tersebut merupakan ajaran yang bersumber dari Zoroasterianisme, agaknya telah disinyalir sebelumnya dalam kontek kritisisme terhadap pendekaatan – pendekatan yang dilakukan oleh para filsuf dan teolog, sekalipun ia tidak secara eksplisit menyebutkan Zoroasterianisme
c.       Hari Kiamat
Istilah “ kiamat” menempati posisi penting dalam Al-qur’an, hal ini terlihat dari pemberian Nama – Nama Surat, diman, di bandingkan dengan konteks –konteks lainnya, hanya kontek kiamat saja yang disebutkan dalam sepuluh Nama Surat, yaitu : Al-Waqi’ah (kejadian), Al-Qiyamah (kiamat), An-Naba (Berita Besar), dan lain- lain. Peristiwa kiamat, berdasarkan Al-Qur’an, dimula dengan peniupan Sangkakala yang pertama. Peniupan ini mengakibatkan matinya semua makhluk, kecuali bagi yang dikehendaki oleh allah.
Al-Ghozali, dalam kaitan ini, menganggap adaa tiga makhluk yang dikehendaki oleh Allah yaitu Malaikat Jibril, Mikail, Isrofil dan Malakul Maut. Kemudian pada saatnya nanti yakni setelah terjadi kehancuran total, Allah akan memerintahkan Malaikat maut untuk mencabut nyawa, secara berturut- turut ; Malaikat jibril, Mikail, Isrofil, dan dirinya sendiri Malaikat Maut).
Uraian-uraian Al-Ghozali tentang lukisan terjadinya kiamat sangat panjang lebar. Berbeda dengan Rahman ,kenyataan ini disebabkan oleh perbedaan motif kepentingan yang mendasarinya , yang pada akhirnya berimplikasi pada perbedaan dalam tiytik tekan atau pembahasannya.
Ketika berbicara mengenai hari kiamat, tentunya akan dikaitkan dengan kehidupan setelah hancurnya alam semesta beserta isinya. Pertanyaan yang sering muncul ialah, apakah kebangkitan-kembali terjadi pada jiwa saja ataukah juga melibatkan raga jua? Dengan kata lain apakah manusia akan dibangkitkan hanya dalam “ bentuk” nya yang spiritual (jiwa) ataukah dalam bentuknya yang “utuh” perpaduan antara jiwa dan raga?.
Kendati para teolog sama dengan Al –Ghozali dalam penerimaan konsep kebangkitan raga, mereka berhenti pada titik dimana raga yangdibangkitkan adalah raga baru,karena raga lama telah lenyap. Sementara Al-Ghozali tetap meyakini bahwa rag lama itulah yangakan dibangkitkan dan diperbaharui kembali. Mengenai pertanyaan apakh raga akan dibangkitka bersama – sama dengan jiwa, tampaknya Rahman memiliki pnadangan yang berbeda dan baru bila dibandingkan dengan Al –Ghozali,bahkan berbeda dari para filsuf abad pertengahannya semisal Ibn Arabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Kesimpulan Rahman dalam hal ini adalah bahwa antara jiwa dan raga tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain secara logis.
Apakah manusia bisa mendapatkan syafaat saat terjadi hari kiamat atau pasca kiamat? Pertanyaan itu akan selalu muncul di permukaan dan menimbulkan perbedaan pandangan antara ulama yang satu dengan yang lain, tidak juga antara Rahman dan Al-Ghozali. Keyakinan Rahman yang tampak menunjukkan nilai radikalismenya, di bangun atas dasar bahwa tidak ada seorang atau sesuatu pun yang dapat menolong manusia didalam ketidakberdayaan dan kesendiriannya di dalam hari kiamat. Hal ini jelas berbeda dengan pandangan Al-Ghoali yang menanggap bahwa syafaat para Nabi dan Wali, bahkan semua orang shaleh, bisa diungkapkan sebagai sinar ketuhanan yang memancar dari sisi tuhan menuju subtansi kenabian, yang dari subtansi ini sinarnyaakan tersebar menuju subtansi – subtansi yang mempunyai hubungan erat, Karena ikatan cinta yang demikian kuat, dan lain sebagainya.
d.      Surga dan Neraka
Bagaimanapun wujud gambaran yang di berikan oleh seseorang terhadap citra surga dan neraka, keberadaan kedua wujud tersebut bersifat pasti, niscaya, dan mutlak. Hal inilah, menurut Rahman salah satu dimensi yang terpenting akibat dari adanya doktrin hari akhir. Jadi, pada dasarnya Rahman menelusuri ide dasar eskatologi Al-qur’an yang logis dan bermoral. Nampaknya ia ingin memasujki pembahasan dengan menghadirkan argument-argument teologis yang pelik dan panjang lebar untuk menunjukkan eksistensi surga dan neraka.
Sebaliknya Al-Gozali, demi menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa surga dan neraka itu benar- benar ada, memaparkan berbagai argument teologis secara panjang lebar. Konsepsi Al-Ghozali dimaksud dapat ketika ia coba menjelaskan secara argumentative tentang eksistensi kenikmatan di surga,yang dijelaskan melalui argument indrawi, fantasi, dan rasional. Yang dimaksud Al-ghozali secara indrawi adalah bahwa masing-masing orang di surga mempunyai selera yang berbeda akibat perbedaan karakteristik mereka sewaktu di dunia. Secara fantasi adalah bahwa kenikmatan itu merupakan perkara yang sudah jelas (aksiomati). Adapun secara rasional,dapat dijelaskan dengan mencermati segala sesuatu yang bersifat indrawi.
Dengan demikian, jelas bahwa perbedaan fundamental yang tanpak diantara kedua tokoh diatas dalam kontek ini adalah bahwa Al-Ghozali berusaha memberikan bukti- bukti teologis yang panjang lebar demi menjustifikasi idenya tentang keberadaan Surga maiupun Neraka. Sedangkan Rahman tidak secara praktis bmemerlukannya, formulasi yang di tawarkannya tampaknya tidak ingin terperangkap dalam uraian-uraian yang bersifat normative teologis. Ia berusaha menjadikan setiap formulasi intelektualnya senantiasa berada dalam jalur- jalur keilmuan metodologik-akademik,yang konon kata sementara orang adalah ringkas, padat, analitis, dan kritis.
G.    Kesimpulan
tuhan, manusia dan eskatologi merupakan ajaran pokok dan menjadi titik panggal dalam memahami agama, tuhan sebagai personal sekaligus impersonal dalam sebuah kehiduan. Eskatologi merupakan jalan akhir untuk menuju tujuan akhir manusia, dalam hal ini tidak bisa lepas dari kekuasaan tuhan, yag mana telah mengatur dalam sendi-sendi kehidupan.
Manusia tidak menginginkan tuhan, manusia tidak meginginkan eskatologi namun manusia membutuhkannya, sehingga manusia tidak bisa lepas dalam belenggu yang mengikat ini.
H.    Daftar Pustaka
Budiono M.A,Kamus Populer Internasional (Surabaya: Alumni, 2005)
D.E. Trueblood, Filsafat Islam, disadur oleh Prof. Dr. H. M. Rasjidi, (Jakarta : Bulan Bintang, 2002)
Hadari Nawawi. Hakekat Manusia Menurut Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993)
Hadari Nawawi, Pendidikan Dalam Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993)
Sibawai, Eskatologi Al Ghozalidan Fazlur Rahman, (Yogyakarta : Islamika, 2004)



[1] Hadari Nawawi, Pendidikan Dalam Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993) hal. 40-41
[2] Ibid, hal. 50.
[3] Hadari Nawawi. Hakekat Manusia Menurut Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), hal 71
[4] Budiono M.A,Kamus Populer Internasional (Surabaya: Alumni, 2005) hal.162
[5] Sibawai, Eskatologi Al Ghozalidan Fazlur Rahman, (Yogyakarta : Islamika, 2004 ) hal. 21
[6] D.E. Trueblood, Filsafat Islam, disadur oleh Prof. Dr. H. M. Rasjidi,( Jakarta : Bulan Bintang, 2002 ) hal.211
[7] Ibid, hal. 25.

lamaran kerja


SURAT LAMARAN KERJA
Gorontalo, 03 Maret 2016
Perihal : Lamaran Pekerjaan
Kepada Yth.
HRD PT. Guna Indah Makmur
Di Tempat
Dengan Hormat
Berdasarkan info yang saya baca diselembaran mengenai kebutuhan tenaga kerja, dengan ini saya mengajukan lamaran pekerjaan.
Yang Bertanda Tangan Di Bawah Ini :
Nama                           : Brojo Hermanto
Tempat/Tanggal Lahir: Sukamaju I, 09 September 1996
Pendidikan Terakhir    : SMK (Jurusan Otomotif)
Agama                         : Islam
Jenis Kelamin              : Laki-Laki
No. Telpon                  : 085796591376
Alamat                        :
RT/RW            : 004/002
            Desa/Kel.        : Limba U I
            Kecamatan      : Kota Selatan
            Kabupaten       : Gorontalo
Dengan ini saya mengajukan permohonan kiranya bapak/ibu berkenan menerima saya untuk menjadi tenaga kerja di PT. Guna Indah Makmur.
Bersama ini saya lampirkan kelengkapan berkas lamaran sebagai berikut:
1.      Fotocopy  Ijazah Terakhir, KTP Dan KK
2.      Foto Berwarna 3x4 Tiga Lembar
Demikian surat lamaran ini saya  buat, besar harapan saya agar bisa di terima di kantor  yang bapak/ibu pimpin. Atas perhatiannya di ucapkan terima kasih
Hormat Saya

Brojo Hermanto